Labels

Thursday, October 31, 2013

NABI MELIHAT ALLAH SAAT ISRA MI'RAJ

Apakah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Melihat Allah ketika Isra Mi’raj? adalah pertanyaan besar bagi hati setiap manusia, tentu saja, khususnya hati setiap umat Islam. Maka untuk mengurangi rasa penasaran kita tentu saja harus memiliki rujukan yang valid, agar pengetahuan yang di peroleh adalah pengetahuan yang benar, bukan sebaliknya "menyesatkan".

Artikel yang berhubungan dengan Isra Mi'raj ini saya ambil dari www.konsultasisyariah.com  yang dipublish pada June 11, 2013, dengan judul:

Nabi Melihat Allah saat Isra’ dan Mi’raj

Pertanyaan:

Apakah waktu isra’ mi’raj Rasulullah bertatap muka langsung dengan Allah?

Dari: Yayuk

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Pertama, kaum muslimin sepakat bahwa tidak ada seorangpun di dunia ini yang bisa melihat Allah dengan mata kepalanya sendiri, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ad-Darimi dalam Ar-Rad Ala Al-Jahmiyah (hlm. 306), Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa (6/510), dan Ibn Abil Iz dalam Syarh Aqidah Thahwiyah (1/222)

Dan terdapat hadis yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menegaskan bahwa manusia apapun tidak mungkin melihat Tuhannya di dunia. Beliau bersabda,

تعلَّموا أنه لن يرى أحد منكم ربه عز وجل حتى يموت

“Yakini, bahwa seorangpun diantara kalian tidak akan bisa melihat Tuhannya sampai dia mati.” (HR. Muslim 7283, Ahmad dalam Musnadnya 5/433)

Yang menjadi perbedaan ulama adalah apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah ketika isra mi’raj ataukah tidak?

Kedua, perselisihan semacam adalah perselisihan yang masing-masing bisa ditoleransi. Karena itu, memilih pendapat apapun yang dipilih dalam perselisihan ini tidak dihukumi bersalah atau layak divonis memiliki aqidah menyimpang. Adz-Dzahabi mengatakan, .

ولا نعنف من أثبت الرؤية لنبينا في الدنيا، ولا من نفاها، بل نقول الله ورسوله أعلم، بل نعنف ونبدع من أنكر الرؤية في الآخرة، إذ رؤية الله في الآخرة ثبتت بنصوص متوافرة…

Kita tidak boleh bersikap keras terhadap ornag yang berpendapat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah di dunia maupun yang berpendapat sebaliknya. Sikap yang tepat, kita mengatakan, Allah dan Rasul-Nya yang paling tahu. Dan kita bersikap keras dan menilai sesat orang yang mengingkari Allah bisa dilihat pada hari kiamat. Karena keterangan bahwa Allah bisa dilihat pada hari kiamat terdapat dalam berbagai dalil yang shahih (Siyar A’lam Nubala’, 10/114).

Ketiga, ada 4 pendapat ulama tentang apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah ketika isra mi’raj ataukah tidak.

Pendapat pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah ketika mi’raj

Pendapat mayoritas ulama ahlus, mereka  sunah meyakini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah ketika isra mi’raj. Syaikhul Islam mengatakan,

كان النزاع بين الصحابة في أن محمدا صلى الله عليه وسلم هل رأى ربه ليلة المعراج؟ فكان ابن عباس رضي الله عنهما وأكثر علماء السنة يقولون: إن محمدا صلى الله عليه وسلم رأى ربه ليلة المعراج وكانت عائشة رضي الله عنها وطائفة معها تنكر ذلك

Perselisihan yang terjadi di kalangan para sahabat adalah apakah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Tuhannya pada malam isra mi’raj? Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan mayoritas ulama ahlus sunah berpendapat bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Tuhannya ketika isra mi’raj. Sementara Aisyah dan beberapa tokoh yang bersamanya, mengingkari aqidah ini. (Majmu’ Fatawa, 3/386).

Beberapa riwayat yang mendukung pendapat ini,

a. Keterangan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, tentang firman Allah di surat An-Najm, yang artinya, ‘Sesungguhnya Muhammad telah melihat-nya pada waktu yang lain,  (yaitu) di Sidratil Muntaha.’ Ibnu Abbas menjelaskan tentang ayat ini,

رأى ربه فتدلى فكان قاب قوسين أو أدنى

Beliau melihat Tuhannya dan mendekat. Sehingga jaraknya seperti dua busur atau lebih dekat. (HR. Turmudzi 3280 dan Al-Albani menilai, shahih sampai kepada Ibnu Abbas).

b. Dari Qatadah, bahwa Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan,

رأى محمدٌ ربَّه

“Nabi Muhammad melihat Tuhannya” (HR. Ibn Abi Ashim dalam As-Sunah no. 432 dan Ibnu Khuzaimah dalam Bab Tauhid no. 280. Namun riwayat ini dinilai lemah oleh sebagian ulama)

c. Keterangan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ketika beliau ditanya oleh Marwan bin Hakam, apakah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Tuhannya. Jawab beliau, ‘Ya, beliau telah melihatnya.’ (HR. Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunah no. 218, Al-Lalikai dalam Syarh Ushul I’tiqad, no. 908).

Pendapat Kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah dengan hati.

Terdapat satu hadis yang mendukung pendapat ini, namun hadisnya dhaif. Karena statusnya hadis mursal. Hadis tersebut dari seorang tabiin, Muhammad bin Ka’ab Al-Quradzi, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, ‘Apakah anda melihat Tuhan anda?’ jawab beliau,

رأيته بفؤادي، ولم أره بعيني

“Saya melihat dengan mata hatiku dan tidak dengan mata kepalaku.” (HR. At-Thabari 27/46-47, dan Ibnu Abi Hatim no. 18699. Muhammad bin Ka’ab Al-Quradzi tidak berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)

Diantara riwayat lain yang mendukung pendapat ini adalah keterangan Ibnu Abbas menurut salah satu riwayat dari Abul Aliyah,

أن النبي صلى الله عليه وسلم رأى ربه بفؤاده مرتين

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Tuhannya dengan hatinya dua kali. (HR. Muslim no. 176, Ahmad dalam musnad 1/223).

Pendapat Ketiga, Pendapat yang mengingkari bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah

Sahabat yang paling dikenal berpendapat demikian adalah Ummul Mukminin, Aisyah radhiyallahu ‘anha dan Abu Dzar. Aisyah mengatakan,

من زعم أن محمدًا رأى ربه فقد أعظم الفرية على الله

“Siapa yang meyakini bahwa Muhammad pernah melihat Tuhannya, berarti dia telah membuat kedustaan yang besar atas nama Allah.” (HR. Bukhari 4855, Muslim no. 428, Turmudzi 3068, dan yang lainnya).

Ada dua ayat yang digunakan Aisyah untuk menguatkan pendapatnya, pertama firman Allah di surat Al-An’am: 103,

لا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَار

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan.

Namun sebagian ulama tafsir menilai bahwa mengingkari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah dengan ayat ini adalah pendalilan yang kurang tepat. Karena yang ditiadakan dalam ayat di atas adalah al-idrak (meliputi), sementara yang dibahas dalam masalah ini adalah ar-rukyah (melihat), dan melihat beda dengan meliputi.

Kedua, firman Allah di surat As-Syura,

وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلاَّ وَحْياً أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولاً فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ

Tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.

Kemudian, dalam hadis dari Abu Dzar, beliau pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah Nabi melihat Allah ketika isra mi’raj? Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

نور أنى أراه

“Ada cahaya, bagaimana aku melihat-Nya.”

Dalam riwayat lain, “Aku melihat cahaya.” (HR. Muslim 178, Turmudzi 3282, Ahmad 21392, dan yang lainnya).

Pendapat Keempat, tawaqquf (tidak mengambil sikap)

Diantara yang berpendapat demikian adalah Sa’id bin Jubair, ulama tabiin, murid Ibnu Abbas. Said pernah mengatakan,

لا أقول رآه ولا لم يره

“Saya tidak berpendapat Nabi melihat Allah, tidak pula berpendapat beliau tidak melihat Allah.” (HR. Abu Ya’la, simak Masail fi Ushul Ad-Diyanat, hlm. 66)

Al-Qodhi Iyadh – ulama syafi’i – mengatakan,

ووقف بعض مشايخنا في هذا، وقال: ليس عليه دليل واضح، ولكنه جائز أن يكون

Beberapa guru kami tidak mengambil sikap dalam perselisihan ini. Mereka mengatakan, ‘Tidak ada dalil yang tegas dalam hal ini. Meskipun secara logika itu memungkinkan untuk terjadi.’ (As-Syifa, 1/261)

Selanjutnya mari kita simak keterangan Ibnu Abil Iz sebagai kata terakhir untuk menyimpulkan perselisihan ini. Setelah menyebutkan perselisihan apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah ataukah tidak ketika peristiwa isra mi’raj, beliau menyimpulkan,

لكن لم يرد نص بأنه صلى الله عليه وسلم رأى ربَّه بعين رأسه، بل ورد ما يدل على نفي الرؤية، وهو ما رواه مسلم في صحيحه، عن أبي ذر – رضي الله عنه – قال: سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم هل رأيت ربك؟ فقال: “نور أنى أراه” وفي رواية “رأيت نوراً”،

Hanya saja tidak terdapat dalil tegas yang menyatakan, beliau pernah melihat Tuhannya dengan mata kepala beliau. Sebaliknya, terdapat dalil yang menunjukkan bahwa beliau tidak melihat Allah secara langsung. Yaitu hadis yang diriwayatkan Muslim dalam shahihnya, dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Apakah anda melihat Tuhan anda?’ jawab Nabi, ‘Ada cahaya, bagaimana mungkin saya melihatnya.’ Dalam riwayat lain, ‘Saya melihat cahaya.’

وقد روى مسلم – أيضًا – عن أبي موسى الأشعري – رضي الله عنه – أنه قال: قام فينا رسول الله صلى الله عليه وسلم بخمس كلمات، فقال: “إن الله لا ينام ولا ينبغي له أن ينام، يخفض القسط ويرفعه، يرفع إليه عمل الليل قبل عمل النهار، وعمل النهار قبل عمل الليل، حجابه النور ، لو كشفه لأحرقت سُبحات وجهه ما انتهى إليه بصره من خلقه”

Juga diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah menyampaikan 5 kalimat,

Sesungguhnya Allah tidak tidur dan tidak layak Allah disifati dengan tidur, Dia yang menaik-turunkan timbangan, amalan malam hari dilaporkan kepada-Nya sebelum datang amalan siang, dan amalan siang hari dilaporkan kepada-Nya sebelum datang amalan malam. Hijab-Nya adalah cahaya. Andaikan Allah menyingkap cahaya itu, tentu subuhat (pancaran) wajahnya akan membakar makhluk-Nya sejauh pandangan-Nya. (HR. Ahmad 19597 dan Muslim 179).

Kemudian Imam Ibnu Abil Iz menyimpulkan dua hadis di atas,

فيكون – والله أعلم – معنى قوله لأبي ذر: “رأيت نوراً” أنه رأى الحجاب، أي: فكيف أراه والنور حجاب بيني وبينه يمنعني من رؤيته، فهذا صريح في نفي الرؤية والله أعلم

Karena itu – Allahu a’lam – makna keterangan Abu Dzar, ‘Nabi melihat cahaya’, bahwa beliau melihat hijab. Artinya, bagaimana mungkin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melilhat Allah, sementara ada cahaya yang menjadi hijab antara diri beliau dengan Allah, yang menghalangi beliau untuk melihat Allah. Ini merupakan dalil yang tegas, beliau tidak melihat Allah ketika isra mi’raj.

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

TENTANG KONSULTASISYARIAH.COM

KonsultasiSyariah.com menyajikan berbagai tanya jawab seputar permasalahan kehidupan sehari-hari. Pembahasan kasus dan jawaban dipaparkan secara jelas dan ilmiah, berdasarkan dalil Alquran dan Sunnah serta keterangan para ulama.

Konsultasi kesehatan dan tanya jawab Islam © Copyright 2009-2013 KonsultasiSyariah.com

KISAH ISRA' DAN MI'RAJ NABI MUHAMMAD SAW

Artikel ini menguraikan pengalaman dari perjalanan Nabi Muhammad SAW pada peristiwa Isra Miraj, yang saya ambil dari:

 
Majelis Maulid Wa Dzikir Sholawat Rokhmat Al Muhibbin Al Muqorrobin
Dec 13, 2011

KISAH ISRA' DAN MIRAJ NABI MUHAMMAD SAW

Isra Mi’raj merupakan peristiwa terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah kehidupan manusia, yaitu di mana seorang manusia dipertemukan dengan Penciptanya secara langsung dalam kehidupan dunia ini. Peristiwa tersebut hanya dianugerahkan Allah kepada baginda, Nabi Besar Muhammad saw. Tentunya dalam perjalanan itu banyak sekali pelajaran dan hikmah yang dapat kita petik. Jika dalam perjalanan keluar kota saja kita dapat memetik banyak pelajaran, bagaimana kiranya dalam perjalanan menjelajah alam semesta yang tujuan utamanya adalah untuk bertemu dengan Allah?
Berikut inilah ringkasan kisahnya

Pada suatu malam Nabi Muhammad SAW berada di Hijir Ismail dekat Ka'bah al Musyarrofah, saat itu beliau berbaring diantara paman beliau, Sayyiduna Hamzah dan sepupu beliau, Sayyiduna Jakfar bin Abi Thalib, tiba-tiba Malaikat Jibril, Mikail dan Israfil menghampiri beliau lalu membawa beliau ke arah sumur zamzam, setibanya di sana kemudian mereka merebahkan tubuh Rasulullah yang kemudian Jibril as membelah dada beliau yang mulya sampai di bawah perut beliau, lalu Jibril berkata kepada Mikail:

"Datangkan kepadaku nampan dengan air zam-zam agar aku bersihkan hatinya dan aku lapangkan dadanya".

Pembedahan menjelang Isra ini merupakan pembedahan keempat kalinya; yang pertama ketika beliau masih menyusu pada Siti Halimah Sa’diyah, yang kedua ketika usia baligh, yang ketiga ketika diangkat menjadi utusan (rasul), dan keempat ketika akan diisrakan.

Kemudian Jibril AS mengeluarkan hati beliau yang mulya lalu menyucinya tiga kali, kemudian didatangkan satu nampan emas dipenuhi hikmah dan keimanan, kemudian dituangkan ke dalam hati beliau, maka penuhlah hati itu dengan kesabaran, keyakinan, ilmu dan kepasrahan penuh kepada Allah, lalu ditutup kembali oleh Jibril AS.

Dan perlu diketahui bahwa penyucian ini bukan berarti hati Nabi kotor, tidak, justru Nabi sudah diciptakan oleh Allah dengan hati yang paling suci dan mulya, hal ini tidak lain untuk menambah kebersihan diatas kebersihan, kesucian diatas kesucian, dan untuk lebih memantapkan dan menguatkan hati beliau, karena akan melakukan suatu perjalanan maha dahsyat dan penuh hikmah serta sebagai kesiapan untuk berjumpa dengan Allah SWT. Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi mengatakan di dalam kitab Simtudduror:

Mereka membaringkannya dengan hati-hati

Lalu membelah dadanya dengan lemah lembut

Dan mengeluarkan apa yang mereka keluarkan

Lalu menyimpankan rahasia ilmu dan hikmah ke

dalamnya

“Tiada suatu kotoran menganggu

yang dikeluarkan malaikat dari hatinya,

Tapi mereka hanya menambahkan

Kesucian di atas kesucian…”

Dalam syarahannya mengenai hadis Isra dan Mi’raj pada kitab At-Taajul Jaami’lil ushuul fi ahaadiitsir rasuul, Syeikh Manshur Ali Nashif menulis: Sesudah itu mereka (para malaikat) mendatangkan kepada Rasululah seekor hewan putih lebih kecil dari baghal tetapi lebih besar dari keledai, yaitu hewan buraq. Buroq tersebut dahulunya sering dinaiki oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Buroq adalah hewan yang besarnya lebih tinggi dari keledai tetapi lebih rendah dari baghal; warna kulitnya putih dan mempunyai dua sayap yang ada di sebelah kanan dan kirinya. Sekali lompat dapat mencapai sejauh matanya memandang; apabila turun kedua kaki depannya memanjang, dan apabila naik kedua kaki belakangnya memanjang, sehingga punggungnya tetap stabil. Nabi saw menaikinya lalu terbang dengan diiringi oleh Malaikat Jibril dan Malaikat Mikail.

Mereka terus melaju, mengarungi alam ciptaan Allah SWT yang penuh keajaiban dan hikmah dengan Inayah dan Rahmat-Nya.

Saudaraku, jika kita perhatikan dengan baik Isra Mi’raj Nabi Muhammad saw, maka tampaklah sebuah kenyataan bahwa perjalanan itu merupakan perjalanan menuju tempat-tempat yang berkah, menemui manusia-manusia yang berkah dan kemudian bertemu dengan sumber segala keberkahan, yaitu Allah yang Maha Kuasa. Secara jelas Allah mewahyukan:

Allah berfirman:

سُبْحَانَ الَّذِيْ أَسْـرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْــجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْـجِدِ الأَقْصى الَّــذِيْ بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ .

Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami BERKAHI sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Al-Isra, 17:1)

Nabi saw berangkat dari Mekah, kota yang penuh berkah, menuju Masjidil Aqsha yang penuh berkah dan sebelumnya juga singgah di tempat-tempat yang berkah. Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’i, Rasulullah saw bersabda:

“Aku diberi seekor hewan yang lebih tinggi dari keledai dan lebih rendah dari baghal. Langkah hewan itu sejauh pandangannya. Aku menungganginya, dan Jibril Alaihissalam mendampingiku. Aku pun pergi. Di sebuah tempat Jibril berkata, “Turunlah, shalatlah di sini.” Aku pun turun dan shalat. Setelah itu Jibril berkata, “Tahukah di mana engkau tadi shalat?” Engkau tadi shalat di Thaibah (Madinah), di sanalah tempat hijrahmu.” (Setelah melanjutkan perjalanan) Jibril berkata, “Turunlah di sini dan shalatlah.” Aku pun melaksanakan permintaannya. Setelah itu Jibril berkata, “Tahukah di mana engkau tadi shalat? Engkau shalat di Thursina, di mana Allah ‘Azza wa Jalla berbicara kepada Musa ‘Alaihissalam.” (Setelah melanjutkan perjalanan) Jibril berkata, “Turunlah di sini dan shalatlah.” Aku pun turun dan shalat. Setelah itu Jibril berkata, “Tahukah di mana engkau tadi shalat? Engkau shalat di Bethlehem, tempat kelahiran Isa Alaihissalam.” Setelah itu aku memasuki Baitul Maqdis, di sana semua Nabi ‘Alaihissalam dikumpulkan untuk (bertemu dengan)ku. Jibril kemudian membawaku ke depan (untuk menjadi imam). Aku pun lalu mengimami mereka…” (HR Nasa’i)

Coba anda perhatikan, ternyata Nabi saw diajak untuk singgah di tempat-tempat yang penuh berkah. Beliau saw singgah di Madinah, dan shalat di sana, singgah di bukit Thursina, tempat di mana Nabi Musa as diangkat menjadi Rasul, dan beliau shalat di sana. Kemudian beliau singgah di Bethlehem, tempat kelahiran Nabi Isa as, dan shalat di sana. Perjalanan ini berawal dari Makkah di mana terdapat Kabah yang DIBERKAHI dan merupakan pusat ibadah umat islam. Ia merupakan rumah pertama yang dibangun di muka bumi. Usia kabah setara dengan usia bumi ini. Allah mewahyukan:

“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang DIBERKAHI dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (Ali Imran, 3:96)

Siapapun yang berkunjung ke sana akan mendapatkan banyak manfaat, ia akan bertemu manusia dari segala bangsa, mendapat percikan cahaya iman mereka, dapat pula memperoleh keuntungan duniawi, memberikan rasa aman (3:97), dan pahala ibadah yang kita lakukan di sekitar kabah berlipat ganda dibandingkan di tempat lain.

Persinggahan Isra’ Rasulullah diantaranya adalah Thaibah yakni Kota Madinah yang memiliki banyak keberkahan. Kota inilah pelabuhan hijrah Nabi Muhammad saw beserta para sahabat. Dari kota inilah cahaya Islam menyebar ke seluruh penjuru dunia. Dari sekian banyak keberkahan, keberkahan terbesar Madinah adalah bersemayamnya Nabi Muhammad saw di sana. Tidak ada tanah yang lebih mulia dari tanah yang di dalamnya terdapat tubuh manusai yang paling bertakwa, yang paling mulia, yang paling dicintai Allah yaitu baginda Rasulullah saw. Ingatkah Anda ketika pemuda Anshar kurang puas dengan pembagian hasil perang, di mana Nabi saw lebih banyak memberi warga Mekah yang baru memeluk Islam untuk menarik hati mereka? Apa sabda Nabi saw kepada Anshar, warga Madinah, coba Anda simak:

“Tidak senangkah kalian, jika mereka pulang ke rumahnya membawa harta rampasan perang, sedangkan kalian pulang membawa Rasulullah saw ke rumah-rumah kalian? Andaikata kaum anshar melewati sebuah lembah atau lereng, maka aku akan melewati lembah atau lereng yang dilewati Anshar.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Ahmad)

Dalam kesempatan lain baginda Muhammad saw bersabda:

“Barangsiapa mampu untuk meninggal dunia di kota Madinah, maka hendaknya dia lakukan hal itu, sebab aku akan memberikan syafaat kepada orang yang meninggal di Madinah. (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)

Karena itulah para ulama dan segenap umat Islam dari zaman ke zaman memuliakan kota Madinah dan mengharapkan keberkahannya. Imam Syafi’i bercerita: Didepan pintu rumah Imam Malik kulihat tertambat seekor kuda Mesir yang sangat indah. Aku belum pernah melihat kuda sebaik itu. “Betapa indah kuda itu,” ucapku kepada beliau. “Wahai Abu Abdillah, kuhadiahkan kuda itu kepadamu.”

“Simpanlah seekor hewan sebagai tungganganmu,” ujarku.

“Aku malu kepada Allah untuk menginjak tanah yang di dalamnya terdapat Nabi Muhammad saw dengan kaki hewan tungganganku,” jawab imam Malik ra.

Kemudian beliau saw singgah di bukit Thursina ini yang mana keberkahannya tertulis di dalam Al Quran, Allah mewahyukan:

“Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir LEMBAH YANG DIBERKAHI, dari sebatang pohon kayu, yaitu: “Ya Musa, sesungguhnya aku adalah Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-Qashash, 28: 30)

Kemudian persinggahan Isra berikutny adalah Bethlehem tempat dimana Nabiyallah Isa as dilahirkan. Dimana pun Nabi Isa as berada, senantiasa membawa keberkahan bagi penduduk sekitarnya. Nabi Isa sendiri telah menyatakan bahwa diri beliau diberkati, Allah mewahyukan:

“Dan DIA menjadikan Aku seorang yang DIBERKATI di mana pun aku berada.” (Maryam, 19:31)

Ketika menjelaskan ayat ini, Syeikh Abdulqadir Al-Jailani ra berkata: Di antara keberkahan Nabi Isa as adalah berbuahnya pohon kurma untuk ibu beliau Ash-Shiddiqiyyah Maryam as. Kemudian, munculnya air dari bawah pohon kurma itu. Kejadian ini tiada lain adalah di Bethlehem tempat di mana Nabi Isa as dilahirkan.

Allah Azza Wa jalla mewahyukan:

Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu. Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu.” (Maryam, 19:24-26)

Setelah singgah di tempat-tempat yang berkah, barulah Nabi saw berangkat menuju Masjidil Aqsha yang disekelilingnya diberkati Allah.

Para ulama menjelaskan bahwa daerah sekitar masjidil Aqsha dikatakan berkah karena dua hal, pertama adalah karena tanahnya subur dan kaya akan hasil bumi. Kedua, karena begitu banyak Nabi dan orang-orang saleh yang dimakamkan di sana.

Saudaraku, kita semua tahu, bahwa inti Isra Mi’raj adalah pertemuan Nabi Muhammad dengan Allah. Pertanyaannya, mengapa sebelum pertemuan itu Allah memerintahkan Nabi saw untuk singgah di tempat-tempat yang bersejarah tersebut? Semua itu tiada lain adalah sebuah bentuk pembelajaran.

Allah ingin memberitahukan kepada kita bahwa napak tilas para Nabi, rasul dan kaum sholihin adalah tempat-tempat yang mulia, kita tidak boleh melupakannya begitu saja. Di sana terdapat banyak keberkahan yang dapat kita peroleh. Sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw dalam Isra Mi’raj di atas, maka seyogyanya kita juga melakukan perjalanan ibadah ke tempat-tempat bersejarah Islam, napak tilas para Nabi dan kaum sholihin. Semoga sunnah Nabi saw ini dapat kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Demikianlah perjalanan ditempuh oleh beliau SAW dengan ditemani Jibril dan Mikail, begitu banyak keajaiban dan hikmah yang beliau temui dalam perjalanan itu sampai akhirnya beliau berhenti di Baitul Maqdis (Masjid al Aqsho). Beliau turun dari Buraq lalu mengikatnya pada salah satu sisi pintu masjid, yakni tempat dimana biasanya Para Nabi mengikat buraq di sana.

Kemudian beliau masuk ke dalam masjid bersama Jibril AS, masing-masing sholat dua rakaat. Setelah itu sekejab mata tiba-tiba masjid sudah penuh dengan sekelompok manusia, ternyata mereka adalah para Nabi yang diutus oleh Allah SWT. Diantara jamaah para nabi tersebut Nabi saw melihat Nabi Musa as sedang shalat, yang ternyata ia berbadan kurus dan berambut keriting, seakan-akan seseorang dari kalangan Bani Syanu’ah. Beliau pun melihat Nabi Isa Ibnu Maryam as sedang shalat, orang yang paling mirip dengannya ialah ‘Urwah ibnu Mas’ud Ats-Tsaqafi. Beliau juga melihat Nabi Ibrahim as sedang shalat dan orang yang paling mirip dengannya ialah beliau sendiri. Kemudian dikumandangkan adzan dan iqamah, lantas mereka berdiri bershof-shof menunggu siapakah yang akan mengimami mereka, kemudian Jibril AS memegang tangan Rasulullah SAW lalu menyuruh beliau untuk maju, kemudian mereka semua sholat dua rakaat dengan Rasulullah sebagai imam. Hal ini mengisyaratkan bahwa Nabi Muhammad saw lebih utama dan lebih mulia daripada mereka di sisi Allah. Beliaulah Imam (Pemimpin) para Anbiya' dan Mursalin. Ketika beliau saw selesai dari shalat, tiba-tiba ada seseorang mengatakan, “Hai Muhammad, ini adalah Malaikat malik penjaga pintu neraka, ucapkanlah salam kepadanya”. Aku menoleh dan ternyata dialah yang memulai bersalam kepadaku.

Kemudian setelah beliau menyempurnakan segalanya, -- Syeikh Manshur menjelaskan – lalu dipasang untuk beliau Mi’raj, yaitu berupa tangga yang memiliki tingkatan-tingkatan sesuai dengan jumlah lapisan langit. Barangsiapa yang menaiki satu derajat dari Mi’raj itu, maka Mi’raj akan membawanya naik ke tingkatan yang selanjutnya lebih cepat dari sekejap mata sampai akhirnya beliau SAW berjumpa dengan Allah dan berbicara dengan Nya, yang intinya adalah beliau dan umat ini mendapat perintah sholat lima waktu. Sungguh merupakan nikmat dan anugerah yang luar biasa bagi umat ini, di mana Allah SWT memanggil Nabi-Nya secara langsung untuk memberikan dan menentukan perintah ibadah yang sangat mulya ini. Cukup kiranya hal ini sebagai kemulyaan ibadah sholat. Sebab ibadah lainnya diperintah hanya dengan turunnya wahyu kepada beliau, namun tidak dengan ibadah sholat, Allah memanggil Hamba yang paling dicintainya yakni Nabi Muhammad SAW ke hadirat Nya untuk menerima perintah ini.

Ketika beliau dan Jibril sampai di depan pintu langit dunia (langit pertama), ternyata disana berdiri malaikat yang bernama Ismail, malaikat ini tidak pernah naik ke langit atasnya dan tidak pernah pula turun ke bumi kecuali disaat wafatnya Rasulullah SAW, dia memimpin 70 ribu tentara dari malaikat, yang masing-masing malaikat ini membawahi 70 ribu malaikat pula.

Jibril meminta izin agar pintu langit pertama dibuka, maka malaikat yang menjaga bertanya:
 "Siapakah ini?"
Jibril menjawab: "Aku Jibril."
Malaikat itu bertanya lagi: "Siapakah yang bersamamu?"
Jibril menjawab: "Muhammad saw."
Malaikat bertanya lagi: "Apakah beliau telah diutus (diperintah)?"
Jibril menjawab: "Benar".
Setelah mengetahui kedatangan Rasulullah malaikat yang bermukim disana menyambut dan memuji beliau dengan berkata:
"Selamat datang, semoga keselamatan menyertai anda wahai saudara dan pemimpin, andalah sebaik-baik saudara dan pemimpin serta paling utamanya makhluk yang datang".
Fahamlah kita dari ucapan ini, tidak ada satupun makhluk yang lebih mulia menginjak langit pertama melebihi Sayyidina Muahmmad shallallahu 'alaihi wasallam
Maka dibukalah pintu langit dunia ini".

Setelah memasukinya beliau bertemu Nabi Adam dengan bentuk dan postur sebagaimana pertama kali Allah menciptakannya. Nabi saw bersalam kepadanya, Nabi Adam menjawab salam beliau seraya berkata:

"Selamat datang wahai anakku yang sholeh dan nabi yang sholeh".

Di kedua sisi Nabi Adam terdapat dua kelompok, jika melihat ke arah kanannya, beliau tersenyum dan berseri-seri, tapi jika memandang kelompok di sebelah kirinya, beliau menangis dan bersedih. Kemudian Jibril AS menjelaskan kepada Rasulullah, bahwa kelompok disebelah kanan Nabi Adam adalah anak cucunya yang bakal menjadi penghuni surga sedang yang di kirinya adalah calon penghuni neraka.

Kemudian beliau naik ke langit kedua, seperti sebelumnya malaikat penjaga bertanya seperti pertanyaan di langit pertama. Akhirnya disambut kedatangan beliau SAW dan Jibril AS seperti sambutan sebelumnya. Di langit ini beliau berjumpa Nabi Isa bin Maryam dan Nabi Yahya bin Zakariya, keduanya hampir serupa baju dan gaya rambutnya.

Nabi saw menyifati Nabi Isa bahwa dia berpostur sedang, putih kemerah-merahan warna kulitnya, rambutnya lepas terurai seakan-akan baru keluar dari hammam, karena kebersihan tubuhnya.
Nabi bersalam kepada keduanya, dan dijawab salam beliau disertai sambutan: "Selamat datang wahai saudaraku yang sholeh dan nabi yang sholeh".

Kemudian tiba saatnya beliau melanjutkan ke langit ketiga, setelah disambut baik oleh para malaikat, beliau berjumpa dengan Nabi Yusuf bin Ya'kub. Beliau bersalam kepadanya dan dibalas dengan salam yang sama seperti salamnya Nabi Isa.
Nabi berkomentar: "Sungguh dia telah diberikan separuh ketampanan". Dalam riwayat lain, beliau bersabda: "Dialah paling indahnya manusia yang diciptakan Allah, dia telah mengungguli ketampanan manusia lain ibarat cahaya bulan purnama mengalahkan cahaya seluruh bintang".

Ketika tiba di langit keempat, beliau berjumpa Nabi Idris AS. Kembali beliau mendapat jawaban salam dan doa yang sama seperti Nabi-Nabi sebelumnya.

Di langit kelima, beliau berjumpa Nabi Harun bin ‘Imran AS, separuh janggutnya hitam dan seperuhnya lagi putih (karena uban), lebat dan panjang.

Pada tahapan langit keenam inilah beliau berjumpa dengan Nabi Musa AS, seorang nabi dengan postur tubuh tinggi, putih kemerah-merahan kulit beliau. Nabi saw bersalam kepadanya dan dijawab oleh beliau disertai dengan doa. Setelah itu Nabi Musa berkata: "Manusia mengaku bahwa aku adalah paling mulyanya manusia di sisi Allah, padahal dia (Rasulullah saw) lebih mulya di sisi Allah daripada aku".

Setelah Rasulullah melewati Nabi Musa, beliau menangis. Kemudian ditanya akan hal tersebut. Beliau menjawab: "Aku menangis karena seorang pemuda yang diutus jauh setelah aku, tapi umatnya lebih banyak masuk surga daripada umatku".

Kemudian Rasulullah saw memasuki langit ketujuh, di sana beliau berjumpa Nabi Ibrahim AS sedang duduk di atas kursi dari emas di sisi pintu surga sambil menyandarkan punggungnya pada Baitul Makmur.

Setelah Rasulullah bersalam dan dijawab dengan salam dan doa serta sambutan yang baik, Nabi Ibrahim berpesan: "Perintahkanlah umatmu untuk banyak menanam tanaman surga, sungguh tanah surga sangat baik dan sangat luas". Rasulullah bertanya: "Apakah tanaman surga itu?", Nabi Ibrahim menjawab: "(Dzikir) Laa haula wa laa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adziim".

Dalam riwayat lain beliau berkata:

"Sampaikan salamku kepada umatmu, beritakanlah kepada mereka bahwa surga sungguh sangat indah tanahnya, tawar airnya dan tanaman surgawi adalah Subhanallah wal hamdu lillah wa laa ilaaha illallah wallahu akbar".

lantas Rasul berkata setelah itu aku di naikkan ke Baitul Ma’mur yang tempatnya tepat berada diatas Ka’bah, lantas aku berkata pada Jibril, “apa ini wahai Jibril?”
 
Jibril berkata :

“ini Baitul Ma’mur, 70 ribu malaikat shalat setiap harinya dan keluar dari Baitul Ma’mur 70 ribu dan tidak pernah kembali lagi terus keluar 70 ribu tepat diatas ka’bah al Musyarrafah tempatnya”

Hadirin hadirat lantas Rasul saw dinaikan lagi sampai mendengar lauhul mahfud (ketentuan takdir) sampai ia mendengar yaitu keputusan-keputusan Allah swt lantas setelah itu diperintah untuk menghadap langsung kepada Allah swt, Jibril berhenti tidak meneruskan menemani lagi, karena dalam riwayat yang lainya Jibril berkata : “aku tidak mampu terus menghadap kepada Allah karena tidak diizinkan untuk menghadap, hanya engkau yang diizinkan untuk menghadap, kalau aku naik aku akan hancur terbakar dengan cahaya hijab, dari hijabnya Allah swt, cahaya dari 70 ribu tabir cahaya yang menutupi makhluk dengan Al Khaliq, jika sampai aku ke hijab itu aku akan terbakar” kata Jibril.
 
70 ribu tabir terbuka untuk Sayyidina Muhammad saw, saat itulah beliau berjumpa dengan Allah subhanahu wata'ala, dan Allah subhanahu wata'ala telah berfirman :

“Saat itu sangat dekat dia dengan Allah subhanahu wata'ala” (QS Annajm 8-9)

Diantara sekian banyak rahasia didalam mi’raj diantaranya adalah ucapan para penyair bahwa ketika Nabi Musa a.s menghadap Allah Swt di Bukit Tursina, maka disaat itu diperintahkan kepada Musa :

“lepas kedua sandal mu wahai Musa kau berada di lembah yang suci” (QS Thaahaa 12)

Maka disaat Rasulullah saw Mi’raj naik ke hadhratullah tidak diperintah membuka kedua sandalnya, maka berkata para penyair dalam syairnya manakah yang lebih mulia sandal atau Jibril as, jibril tidak bisa naik kehadhratullah tapi sandalnya Rasulullah naik ke hadhratullah swt, tentu jibril as lebih mulia dari sandal, sandal hanya terbuat dari kulit kambing tapi karena sandal terikat dengan kaki Sayyidina Muhammad saw walaupun terbuat dari kulit kambing karena terikat dengan kaki Rasulullah saw, demikian pakaian Rasulullah saw naik ke hadirat Allah swt, tidak diperintah membuka kedua sandalnya sebagai tanda bahwa orang-orang yang terikat hatinya dengan Rasulullah saw sangat dekat dengan Allah swt, Allah tidak perintahkan semua yang bersama Rasul untuk berpisah, bahkan sandalnya pun tidak diperintahkan dibuka menunjukkan lebih lagi hatinya yang terikat cinta pada Sayyidina Muhammad saw, mereka mendapatkan rahasia kemuliaan isra’ wal mi’raj, seluruh ummat beliau buktinya, saat kita shalat kita mengulang kembali kalimat percakapan Allah dengan Nabi Muhammad saw: yaitu : attahiyyatul Mubaarakaatu….dst.

kalimat itu kalimat percakapan antara Allah dan Nabi Muhammad saw, kau ucapkan didalam shalat, setiap shalat kita mengucapkannya, rahasia kemuliyaan isra’ wal mi’raj tumpah pada kita 5 kali setiap harinya, ingin lebih lakukan lagi, ada shalat dhuha, ada shalat witir, ada shalat tahajjud, ada shalat shalat lainnya.

Diriwayatkah didalam Assyifa oleh Hujjatul Islam Al Qadhi’iyad rah. bahwa di saat itu Rasul shallallahu 'alaihi wasallam menceritakan :

“Saat aku naik menuju Mi’raj aku melihat dilangit itu para malaikat gemuruh dengan dzikir dan tasbih dan warna dan bentuk yang belum pernah aku lihat di permukaan bumi ada warna seperti itu dan bentuk seperti itu dan kulihat hamparan surga itu bentangan tanahnya adalah Misk yang di keringkan, minyak wangi yang mengering dari indahnya di campur dengan berlian dan juga mutiara dan kemudian aku sampai ketika menembus Muntahal khalai’iq (batas akhir seluruh Makhluk) tidak lagi kudengar satu suarapun, sepi dan senyap, tidak ada lagi bentuk dan warna warni dan saat itu akupun mendengar satu suara :

“mendekat mendekat wahai Muhammad, tenangkan dirimu dari ketakutanmu wahai Muhammad "

maka beliau pun bersujud lalu berkata : Attahiyyatul Mubaarakaatusshalawaatutthayyibaatu lillah“

(Rahasia keluhuran, kebahagiaan, kemuliaan, keberkahan, milik Allah dan untuk Allah subhanahu wata'ala)

Maka aku mendengar jawaban ucapan Rasul : Assalaamu alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh”, (Salam sejahtera wahai Nabi dan Rahmatnya Allah, dan keberkahannya)

Maka aku menjawab : “Assalaamu alaina, wa alaa ibaadillahisshaalihiin” (Salam sejahtera bagi kami (yaitu aku dan ummatku), dan hamba hamba yg shalih (yaitu para nabi dan malaikat)

Beliau tidak mau mengambil rahasia salam sejahtera dari Allah sendiri, tapi ingin menyertakan Ummat Beliau shallallahu 'alaihi wasallam dengan ucapan :

“salam sejahtera untuk kami dan para hamba Allah yang Shaleh yaitu para malaikat dan para Rasul dan Nabi”

Demikian sebagian ulama menjelaskan.

Saudaraku, maka di wajibkannya 50 waktu shalat, lantas beliau turun berjumpa dengan Nabiyallah Musa As,

“apa yang dikatakan Tuhanmu?”

“aku di berikan hadiah untuk membawa shalat 50 waktu”

“baliklah..!, bani Israil tidak mampu melakukan 50 waktu apalagi ummatmu, Ummatmu lebih pendek usianya, lebih lemah, lebih tidak berdaya, balik lagi minta kekurangan”

Maka Rasulullah saw kembali, ketika meminta kekurangan seraya berkata :

“Wahai Allah sungguh Ummatku sudah sangat lemah dibanding ummat-ummat sebelumnya” Maka Allah subhanahu wata'ala menguranginya 10 menjadi 40 waktu,

Dia turun pada Nabiyallah Musa, Musa a.s berkata :

“apa yang kau dapat, di kurangi berapa?”

Rasul saw menjawab : “sepuluh”

“kembalilah lagi, 40 waktu tidak mampu ummatmu, minta dikurangi lagi, minta keringanan”

Maka Nabi saw balik lagi pada Allah, dikurangkan lagi 10 hingga demikian sampai 5 waktu yaitu beliau bulak balik demi minta keringanan.

Didalam salah satu riwayat Nabiyallah Musa a.s itu ketika beliau a.s mendengar firman Allah Swt di bukit Tursina, setelahnya ia turun dari bukit tersebut sambil menutup telingannya dari semua suara benda dan hewan karena ia tidak tahan mendengar buruknya suara benda dan hewan karena ia telah mendengar suara yang sangat begitu lembut dan indah mewakili firmannya Allah Swt hingga ia tidak kuat mendengar suara air, suara burung, suara manusia, suara hewan yang semuanya menyakiti telinga Musa a.s. Hal itu terjadi pada Nabiyallah Musa a.s di dunia. cahaya terang pun terlihat diwajah Nabiyallah Musa yang dilihat oleh istri dan anak-anaknya hingga mereka berkata, “Demikian terang benderang wajahmu.” Nabiyallah Musa As berkata : “Aku tadi mendapat firman Allah Swt.” maka ketika di malam isra’ wal mi’raj Nabi Musa a.s melihat wajah Rasulullah Saw sesaat setelah kembali dari hadapan Allah Swt dengan wajah yang terang benderang bias dari cahaya Rabbul’alamin swt, Nabiyallah Musa a.s bahkan mencari alasan supaya Muhammad kembali lagi ke atas supaya bisa balik lagi, jumpa lagi, melihat lagi cahaya keindahan Allah, wajah Beliau bagaikan cermin yang mencerminkan cahaya keagungan Ilahi, balik lagi keatas, balik lagi hingga berkali kali Nabi Musa a. bisa menikmati bias dari cahaya keindahan Rabbul’alamin yang terlihat di wajah Sayyidina Muhammad Saw dan setelah itu Nabiyallah Musa pun ketika Rasul berkata :

“sudah cukup 5 waktu tadi sudah di beri pahala 50 waktu oleh Allah subhanahu wata'ala”

”Kembali lagi”

Rasul berkata : “aku sudah malu, karna Allah Swt sudah berfirman : “ Aku sudah lewatkan dan sudah jalankan fardhu Ku untuk hamba-hamba Ku”(Shahih Bukhari)

Yaitu Allah Swt telah menentukannya dan tidak lagi merubahnya 5 waktu, Allah Maha tahu shalat itu 5 waktu bukan 50 waktu, namun Allah ingin memberi isyarat kepada sang Nabi dan kepada ummat beliau yaitu kita berapa besarnya rindu kita kepada Allah Swt, berapa besarnya rindu Allah pada kita, Allah meminta 50 kali kita menghadap, kita 5 kali saja ada yang masih malas dan keberatan, berapa cinta Allah kepada kita, berapa cinta kita kepada Allah, Allah minta 50 kali, karena kita lemah kita diberi 5 kali tapi sama dengan 50 waktu seakan akan 50 kali menghadap Allah, inilah cinta nya Rabbul’alamin kepada hamba-Nya.

Rasul saw kembali membawakan kepada kita hadiah Ilahiyah berupa 5 waktu yang mulya, 5 waktu suci untuk menghadap Ilahi, jiwa dengan jiwa, ruh dengan ruh. Walaupun jasad kita di bumi tapi ruh dan jiwa kita dan sanubari kita saat mulai takbiratul ihram hingga salam saat itu terbuka hijab antara hamba dengan Allah swt, sebagaimana hadits Rasul saw: “Barang siapa yang melakukan shalat sungguh ia sedang berbicara dan bercakap cakap dan menghadap Allah subhanahu wata'ala.

Thursday, October 3, 2013

YAMA - NIYAMA BRATA.

Salah satu konsep ajaran dalam Veda yang sangat penting untuk upaya pengendalian diri adalah Yama dan Niyama Brata. 

 PANCA YAMA BRATA.

Jenjang pertama bagi Astangga Yoga adalah Yama. Yama artinya pengendalian diri tahap pertama. Yama ini terdiri dari lima bagian, sehingga disebut Panca Yama, yakni terdiri dari :

  1. Ahimsa - artinya tidak menyakiti, tidak menganiaya atau menyiksa makhluk hidup. Konsep ini menunjukan bahwa seseorang yang mengamalkan ajaran agama dan ingin memahami alam kehidupan rohani, hendaknya bebas dari segala perbuatan yang bersifat menyakiti sesama mahluk. Ahimsa ini merupakan ajaran pengendalian yang sangat mendasar sifatnya. Maksudnya bahwa, jika seseorang belum mampu mengendalikan dirinya dalam hal menyakiti dan membunuh, maka sulitlah baginya akan bisa naik ke jenjang yang lebih tinggi. Ahimsa pada prinsipnya bertujuan untuk memanusiakan manusia. Artinya seseorang hendaknya dapat menumbuhkan atau menyuburkan sifat-sifat yang dianggap sebagai sifat-sifat di luar kemanusiaan karena tidak menyakiti adalh kebenaran yang tertinggi (Ahimsaya paro dharma). Melalui ajaran Ahimsa ini  kita dapat menumbuhkan atau menyuburkan sifat-sifat lemah lembut, cinta kasih, persaudaraan, dan lain sebagainya yang sesungguhnya sifat asli dari manusia. Lawan dari Ahimsa adalah Himsa Karma yaitu perbuatan membunuh dan menyakiti sesama mahluk yang merupakan perbuatan dosa.
  2. Brahmacari – Bagi seseorang yang hendak mengabdikan dirinya dalam hidup kebenaran dan kesucian diri, suci pikiran, kata-kata dan perbuatan, maka ia harus hidup sebagai seorang Brahmacari. Demikian yang disebutkan dalam ajaran yoga. Hal ini ditujukan kepada rohaniawan (pandita/pinandita), yang dengan sepenuhnya mengikhlaskan hidupnya dengan mengabdi kepada Tuhan. Di dalam melaksanakan ajaran yoga ini, seseorang memerlukan tenaga yang tersimpan dalam dirinya sendiri. Ada dua aspek kekuatan yang tersimpan dalam tenaga yakni aspek yang tidak halus dan yang halus. Aspek yang tidak halus adalah tenaga asmara yang selalu menampakan dirinya melalui indrya, sedangkan aspek yang halus adalah tenaga yang halus yang cenderung mengantarkan manusia pada kesadaran. Seorang pandita/pinandita dapat mengubah tenaga asmara menjadi ”Ojas Sakti”, tenaga yang bercahaya terang yang mengantarkannya ke dalam samadhi yang dalam. Ini merupakan pengendalian diri yang luar biasa, di luar alam manusia biasa.
  3. Satya – artinya kebenaran dan kejujuran. Kejujuran adalah sifat yang selalu dituntut oleh orang yang berbudhi baik, karena sifat ini akan membawa manusia pada ketenangan. Bila seseorang hendak mewujudkan sifat-sifat kedewataan dalam dirinya, maka Sathya mutlak harus dilaksanakan dengan sungguh, karena sesungguhnya Tuhan adalah kebenaran, maka ia akan dijumpai melalui kebenaran itu pula. Jika diamati dengan seksama, maka hati manusia pada dasarnya adalah senantiasa benar dan jujur, sehingga ia mencintai kebenaran dan kejujuran itu sendiri. Akan tetapi akibat pengaruh rajas dan tamas dalamTri Guna dan juga pengaruh indrya, maka hati nurani yang dasarnya suci, benar dan jujur menjadi tenggelam dalam ketidakbenaran dan ketidakjujuran sehingga menjadi kotor. Jika seseorang dapat mengikuti dan mematuhi hati nuraninya dalam bertindak maka benar dan jujurlah segala perbuatannya. Untuk itu diperlukan adanya keberanian dan jiwa besar yaitu keberanian dalam memegang teguh nilai kebenaran itu sendiri. Kebenaran tertinggi adalah Tuhan, maka untuk mencapainya haruslah dengan kebenaran pula.
  4. Awyawaharika – atau Awyawahara berarti tidak berselisih, tidak berjual beli dan tidak berbuat dosa karena kepintaran. Orang patut menghindari diri dari perselisihan atau pertengkaran karena dapat mengotori pikiran dan mengganggu ketenangan jiwa. Awyawaharika juga berarti tidak berjual beli. Hal ini ditujukan terutama kepada pandita/pinandita. Oleh karena dalam berjual beli berlaku prinsip-prinsip ekonomi yang kadang kala tidak cocok dengan prinsip hidup kerohanian. Awyawaharika arti lainnya juga adalah tidak berbuat dosa karena kepintaran. Kepintaran yang digunakan untuk tujuan-tujuan rendah, seperti memeras yang lemah, memperdaya orang yang bodoh adalah dosa. Jadi awyawaharika atau awyawahara adalah untuk mengantarkan seseorang tidak saling bermusuhan, tidak suka menipu, dan tidak berbuat dosa, agar selalu memperoleh kesucian dan kebenaran.
  5. Astainya – atau Asteya artinya tidak mencuri. Mencuri adalah mengambil milik orang lain tanpa persetujuan yang bersangkutan. Perbuatan ini adalah perbuatan mementingkan diri sendiri tanpa memandang betapa sakit dan sengsaranya hati orang yang miliknya diambil oleh orang lain. Maka dari itu, orang harus dapat mengendalikan diri dari keinginan yang berlebihan akan sesuatu, karena keinginan demikianlah yang mendorong seseorang untuk mencuri. Dengan demikian kenikmatan indrya harus selalu berlaku atas pengawasan pikiran yang jernih, sehingga kenikmatan itu tidak didapat atas dasar mencuri atau perbuatan semacam itu. Mencuri tidak akan mengantar orang dalam ketenangan hidup sehingga kesucian menjauh daripadanya.
PANCA NIYAMA BRATA.

Niyama adalah ajaran pengendalian diri tahap kedua. Seperti halnya Yama, Niyama inipun juga terdiri dari lima bagian karena itu disebut Panca Niyama Brata. Rinciannya adalah sebagai berikut :
  1. Akrodha - artinya tidak suka marah. Kebanyakan orang pasti pernah marah, bahkan sering marah. Ada banyak hal yang dapat menyebabkan orang marak. Hal-hal itu antara lain : karena merasa harga dirinya diinjak-injak, dihina, karena tersinggung, karena dimarahi, karena difitnah, ditipu, dibohongi, merasa diperlakukan tidak adil, dan lain sebagainya. Dapat pula orang marah karena keinginan yang tidak dipenuhi. Dalam hal ini orang sering menginginkan agar orang lain mau seperti yang ia inginkan. Jika tidak maka marahlah ia, dengan tidak menyadari bahwa orang lain bukanlah dirinya. Selain itu dapat pula orang marah karena penyakit tertentu. Yang jelas, apapun alasannya marah itu tetap tidak baik. Orang yang suka marah-marah, bukanlah orang yang gagah dan kuat, tapi sebaliknya ia sungguh-sungguh bodoh dan lemah. Karena orang yang demikian halnya berarti belum mampu menundukkan musuh dalam dirinya. Krodha lawan dari akrodha itu adalah salah satu musuh dalam diri manusia yang patut selalu diwaspadai dan ditaklukan. Kemarahan sering juga disusul dengan kebencian dan dendam. Patut diingat bahwa kebencian dan dendam itu adalah racun bathin yang sangat berbahaya dan dapat menghancurkan kehidupan spiritual seseorang. Kebencian tidak akan pernah ada akhirnya  jika sama-sama dihadapi dengan membenci. Ia hanya dapat ditaklukan dengan cinta kasih. Cinta kasih ini akan menumbuhkan kesabaran yang tinggi. Kesabaran ini memang pahit rasanya, namun buahnya manis, orang sabar dikasihi Tuhan. Sedang orang pemarah dikasihi setan. Pengetahuan, kebijaksanaan serta pengalaman hidup itu merupakan senjata yang dapat diandalkan untuk menaklukan kemarahan. Melalui akrodha dapat memberikan kemuliaan hidup kepada seseorang.
  2. Guru Susrusa - berarti bhakti berguru. Ada tiga jenis guru yang harus dibhakti atau dihormati. Pertama, orang harus berbhakti kepada guru rupaka, yaitu orang tua, ibu dan ayah. Orang hendaknya sadar betapa besar pengorbanan dan kasih sayang orang tua yang telah dicurahkan pada anaknya untuk memelihara dan mendidiknya. Orang yang durhaka terhadap orang tuanya tidak akan selamat hidupnya di dunia maupun akhirat kelak. Kedua, orang harus bhakti terhadap guru pengajian, yaitu orang yang mengajarkan bebagai ilmu pengetahuan dan mendidiknya, sehingga menjadi manusia yang berguna. Seseorang yang tidak berbhakti terhadap guru pengajiannya tidak akan berhasil menuntut ilmu pengetahuan dengan sempurna. Ketiga, orang harus bhakti  kepada guru wisesa, yaitu pemerintah, karena pemerintah selalu memberikan pengayoman dan mengatur hidup bermasyarakat dan bernegara sehingga tertib dan damai. Demikianlah orang harus berbhakti terhadap ketiga jenis guru tersebut ( disebut Tri Guru). Selain orang harus berbhakti terhadap tri guru tersebut,  hendaknya pula berbhakti terhadap guru sejati yaitu Sanghyang Paramesti Guru. Tuhan Yang Maha Kuasa, karena dari Beliaulah sumber segalanya ini. Jadi guru susrusa disini menuntun orang kepada kesucian hati dan kearifan.
  3. Sauca - berarti kesucian lahir batin. Ini berarti badan harus bersih dan kebersihan badan akan mempengaruhi kebersihan jiwa. Dengan demikian maka badan harus dihindari dari sesuatu yang sekiranya akan dapat mencemarinya, seperti makanan, minuman, pakaian, barang-barang kimia, dan lainnya. Seringkali bila badan tersentuh nikmat benda akan meninggalkan kesan mendalam dalam pikiran dan bila berjumpa dengan sumber nikmat itu, akan timbul pula guncangan pikiran untuk ingin menikmati lagi. Ternyata bila dibiarkan pikiran itu akan manja dan badan akan dikoyak-koyaknya sampai dalam kelelahan. Karena itu pikiran harus juga suci dan kesucian pikiran akan mempengaruhi kesucian batin.
  4. Aharalaghawa - artinya makan sepatutnya, sesuai dengan kebutuhan tubuh. Badan atau tubuh ini tidak akan ada jika tanpa makan atau minum. Karena tanpa itu manusia tidak akan bisa hidup bersama tubuhnya. Walaupun demikian, tidaklah berarti bahwa hidup ini untuk makan semata, tapi sebaliknya makan itu untuk menunjang kehidupan. Dalam hal makan, orang harus tau aturan makan, orang harus tau memilih makanan yang diperlukan tubuh, baik sebagai sumber tenaga juga sebagai sumber pembangunan organ tubuh yang rusak. Perlu diingat bahwa setiap makanan baik dan berguna bagi tubuh. Adakalanya makanan itu menjadi sumber penyakit tertentu. Untuk itu diperlukan memilih makanan yang sehat. Orang harus tau ukuran makanan yang akan dimakan agar tidak berlebihan dalam mengkonsumsi makanan sehingga tidak menjadi sia-sia. Dalam hal makan, hendaknya orang tidak saja memperhatikan selera kenikmatan lidah semata, yang terpenting adalah kandungan gizi makanan tersebut. Dalam hal ini seseorang harus dapat mengendalikan Jihwendriyanya, yaitu indrya pada lidah. Jadi pada prinsipnya Aharalaghawa mengajarkan agar makan yang menyehatkan dan mengembangkan pola hidup sederhana untuk mencapai ketenangan dan kesucian hidup lahir batin.
  5. Apramada – artinya tidak lalai. Kelalaian akan mngakibatkan dosa, malapetaka dan kehancuran. Kelalaian berarti tiada kesadaran. Meredupnya pancaran kesadaran berarti menebalnya kabut kegelapan yang menyelimuti sang jiwatma/kesadaran, yang selanjutnya membawa seseorang pada dosa. Kelalaian juga dapat menyebabkan malapetaka dan kehancuran. Orang sering lalai pada masalah-masalah yang tampaknya kecil namun bisa membawa resiko yang sangat besar. Ingatlah seperti virus, baksil dan bibit penyakit lainnya, yang tidak terlihat oleh mata telanjang, namun dapat membunuh berjuta umat manusia didunia. Demikianlah hendaknya agar seseorang senantiasa selalu waspada dan berhati-hati baik dalam berpikir. Berkata dan perbuatan, baik terhadap yang kecil maupun hal yang besar resikonya. Ketidaklalaian atau apramada ini menjaga dan mengawasi seseorang agar selamat dalam hidupnya untuk menuju pada alam kesadaran. Karena ketidak lalaian berarti senantiasa menjaga kesadaran itu sendiri.
Adapun sasana atau aturan-aturan yang dijelaskan dalam kitab Silakrama ini, memberikan suatu arahan dan tujuan agar seseorang penganut Veda hendaknya mampu memelihara kesucian didalam dirinya dalam mengemban tugas/misi suci Tuhan. Baik itu yang bersifat lahiriah yang dituangkan dalam ajaran yama brata, maupun yang bersifat batiniah yang dituangkan dalam ajaran Niyama Brata.

Ajaran yama dan Niyama brata meletakkan dasar kode etik atau sasana, pada sistem disiplin diri. Apabila setiap individu telah tertanam disiplin pribadi yang kokoh, dengan sendirinya apa yang menjadi tujuan seseorang dalam menempuh kehidupan rohani akan terwujud kesuciannya. 

Demikian yang disebutkan dalam kitab Smrti Sarasamuccaya mengenai ajaran Yama - Niyama Brata yang juga merupakan ketentuan/ syarat yang perlu dimiliki oleh setiap penganut Veda atau dalam hal ini oleh para ARYA, dalam melaksanakan kewajiban untuk melindungi dan menegakan DHARMA.