OM AVIGNAM'STU NAMAH SIDDHAM
OM ANO BHADRAH KRTAVO YANTU VISVATAHOM SVASTI ASTU
Para pengelingsir yang terhormat,
Umat sedharma yang berbahagia
Umat sedharma yang berbahagia
Sangat berbahagia rasa di hati saya, dimana pada saat ini di berikan kesempatan untuk bertutur tentang pesan dharma yang berhubungan dengan status GENDER menurut keyakinan kita di hadapan pengelingsir dan semeton sedharma. Semua ini tentu tidak lepas dari karunia Hyang Widhi Wasa (Brahman-Tuhan YME) melalui waranugrahaNya dalam bentuk Keselamatan dan Kesehatan, teristimewa anugrah Kesempatan saat ini. Semoga pesan-pesan Dharma ini akan menggema atas wara nugrahaNya.
Umat sedharma yang berbahagia,
Dalam kehidupan sosial kita dewasa ini, begitu banyak bermunculan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masalah Gender. Pada pandangan dan pemahaman umum, kata atau istilah Gender lebih di artikan sebagai persoalan kaum wanita. Pembahasan masalah Gender, di anggap sebagai pembahasan sebuah upaya peningkatan PERAN dan HAK dari WANITA, dengan membuang jauh kemungkinan-kemungkinan penghentian hegemoni laki-laki dalam bentuk pembenaran berlakunya EGOISME kaum Laki-laki. Berdasarkan kenyataan-kenyataan kehidupan sosial seperti itulah, maka saya menyampaikan Pesan-pesan Dharma itu dengan Judul "GENDER MENURUT AGAMA HINDU".
Bila kita berbicara tentang gender, maka secara langsung di kepala kita akan tergambar segala sesuatu yang berhubungan dengan wanita. Secara otomatis akan demikian. Oleh karena itu kita harus mengetahui dan memahami apa sebenarnya yang di maksud.kan dengan istilah GENDER itu. Jadi, makna kata gender menurut Kamus Bahasa Indonesia, Gender berarti JENIS KELAMIN. Ini berhubungan dengan manusia, dalam arti manusia di bagi dan di bedakan menurut jenis kelaminnya. Dalam bahasa Inggris, secara khusus di sebut dengan istilah SEX, pengertiannya juga JENIS KELAMIN. Berdasarkan pengertian tersebut, maka Manusia menurut jenis kelaminnya di bagi dalam dua (2) kelompok, yaitu Laki-Laki dan Wanita. Laki-laki dalam bahasa Inggris di sebut MALE dan Wanita sebagai FEMALE, yang memiliki sifat Maskulin dan Feminim.
Dalam susastra Veda, manusia dalam bahasa Sanskrta di bagi ke dalam LAKI dan SWANITA, juga Laki-laki di sebut Purusha dan Wanita adalah Pradhana, istilah yang lebih dalam dan lebih halus lagi, laki-laki adalah Lingga dan Wanita sebagai Yoni. Demikian halus dan dalamnya VEDA memaknai esensi manusia dalam eksistensinya sebagai laki-laki dan wanita.
Umat sedharma yang berbahagia,
Di luar sana, pengertian dan pemaknaan atas status gender sebagai laki-laki dan wanita, sungguh-sungguh menumbuhkan polemik di berbagai lapisan masyarakat. Persoalan gender mengemuka sebagai perwujudan dari ketimpangan dari rasa keadilan sosial yang berakibat buruk. Di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia ini, setiap manusia dengan dalih "SUARA LANGIT" , defenisi dan status gender tidaklah horisontal, tetapi menjadi vertikal. Artinya ada perlakuan yang berbeda antara laki-laki dan wanita, di mana wanita di beri hak dan kesempatan setelah kaum laki-laki. Ini terjadi di berbagai aspek sosial. Nah apalagi bila di hubungkan dengan segala ketentuan ADAT TRADISI yang ada dan anuti oleh setiap kelompok masyarakat kita. Sebut saja misalnya dalam Adat Istiadat Bali, wanita sebagai bagian dari Gender manusia, belum mendapat haknya secara seimbang, bahkan cenderung ada dalam posisi yang memprihatinkan. Misalnya saja dalam hal pendidikan, hak dalam warisan, dan sebagainya. Dalam tradisi adat Bali, laki-laki sebagai Purusha di anggap menjadi yang utama, hak meneruskan keturunan, hak penguasaan atas warisan, hak yang lebih atas usaha pendidikan, dan sebagainya.
Lalu....di mana POSISI WANITA ???. Dalam berbagai tradisi Adat di Negara kita ini, selain tugas "mengandung anak", "melayani suami", "melayani kebutuhan rumah tangga" dan kewajiban lain yang berhubungan dengan tugas-tugas suami (Laki-laki), wanita berada pada sisi yang bersebrangan dengan suami.
Umat sedharma yang berbahagia,
Tradisi dengan Hukum Adatnya telah memunculkan tatanan khusus terhadap apa yang di masa kini di sebut sebagai Gender. Kita dalam tradisi menganut paham PATRIARKI, artinya bahwa keturunan dari sebuah perkawinan itu merupakan penerus dari TRAH atau WANGSA kaum lelaki. Adat tradisi telah menjadi SANGKAR BAJA yang menghalangi pandangan kita terhadap Tugas Kewajiban dari Wanita, yang sangat Utama dan Mulia.
Tidakkah kita sadar, bahwa HARKAT DAN MARTABAT suatu bangsa sebenarnya sangat di tentukan oleh WANITA???. Tidakkah kita menyadari, bahwa martabat sebuah rumah tangga dan keluarga bergantung pada martabat dan kewibawaan wanitanya?.
Mari kita tengok apa yang di suratkan oleh Veda mengenai status gender ini. Apakah sama dengan apa yang di akui sebagai "Suara Langit" oleh sebagian manusia di bumi, bahwa wanita berjalan di belakang laki-laki?. Ataukah Veda memiliki "Suara Suci" yang dapat menjadi Amertha bagi wanita...?.
Umat sedharma yang berbahagia,
Veda, sebagai Kitab Suci Agama Hindu adalah hukum standar yang menjadi rujukan utama dalam memaknai setiap persoalan. Veda menjadi sumber dari segala sumber hukum manusia, karena mengandung sifat Rta, yaitu hukum Brahman yang Kekal. Demikian pula yang berhubungan mengenai Status dan Kedudukan serta tugas bagi Gender manusia.
Di dalam masyarakat Hindu, Gender dalam arti Manusia sebagai Laki-laki dan Wanita memiliki status yang mulia. Lihat saja penggambaran Dewa-dewa sebagai wujud kekuatan Supra kosmis, selalu di gambarkan sebagai laki-laki. Demukian halnya Semua bentuk kekuatan dan kemuliaan selalu di gambarkan sebagai Wanita. Keperkasaan dan Keunggulan oleh Veda di gambarkan sebagai Laki-laki, sementara Kemuliaan, Keagungan, Kecerdasan, Kelemah lembutan, keluhuran dan kasih sayang selalu di gambarkan sebagai wanita. Dari surat-surat wahyu yang tetuang dalam Veda, menggambarkan bahwa Gender dalam bentuknya yang berbeda pada dasarnya memiliki STATUS yang SETARA.
Coba kita renungi apa yang di suratkan dalam RG VEDA III.53.4.: Jayed astam maghavan set u yonih, artinya : Ya Sang Hyang Indra, istri sebenarnya adalah wujud rumah itu. Dia adalah dasar kemakmuran keluarga. Atau kita cermati apa yang di nyatakan dalam YAJUR VEDA XIX.94.: Patni sukrtam bibharti, artinya : Istri melaksanakan upacara keagamaan, atau di katakan: Tanpa kehadiran wanita yajna tidak sempurna.
Umat Sedharma yang berbahagia,
Demikian mulia dan luhurnya Veda memberi penghormatan kepada Wanita, dimana dalam hal ini sehubungan dengan tugas-tugas khusus yang di tanggung oleh wanita. Bila dalam kehidupan sosial selama ini, wanita di anggap tidak memiliki hak suara terhadap segala sesuatu yang menyangkut kesejahteraan serta kebahagiaan umum, tetapi Veda kemudian mengingatkan kita, bahwa wanita memiliki kedudukan dan fungsi yang vital, yang utama.
Dalam masyarakat Hindu, Laki-laki memiliki kebebasan memilih dan melakukan kewajibannya di luar rumah, sesuai dengan bakat, kemampuan serta kesempatan yang dapat di raihnya untuk memenuhi kebutuhan dan menghadirkan kesejahteraan serta kebahagiaan bagi seluruh keluarganya. Jadi kaum laki-laki secara umum telah di terima secara layak untuk melakukan kegiatan di luar rumah. Sementara wanita melakukan kewajiban mengatur dan menata keluarganya dengan segala kemampuannya. Pendidikan terhadap anak, dalam hal ini menjadi tugas khusus bagi wanita. Kesempatan wanita berkumpul sepanjang waktu dengan bagian-bagian keluarganya, menjadikan wanita sebagai pusat pergaulan. Maka dalam hal ini, wanita merupakan ujung tombak moralitas keluarga, karenanya kesucian wanita merupakan kewibawaan bagi dirinya sendiri sekaligus keluarganya secara umum.
Umat sedharma yang berbahagia,
Veda sebagai dasar hukum dalam pengaturan tatanan masyarakat mengedepankan konsep Varna (Warna), yang membagi manusia berdasarkan bakat dan fungsi. Secara umum konsep ini tidak membedakan pembagian itu atas dasar Gender atau jenis kelamin. Artinya secara khusus Konsep Catur Varna tidak menyebutkan bahwa ada pembedaan dalam melaksanakan hak dan kewajiban dalam bentuknya sebagai BAKAT dan FUNGSI bagi laki-laki dan wanita. Keduanya memiliki kesempatan yang sama secara seimbang dalam bentuknya yang berbeda. Ini bukan pembedaan dalam arti "DAHULU dan KEMUDIAN", tetapi penekanannya pada pembagian fungsi manusia secara utuh.
Demikian pula bagi mereka yang lahir dengan kepribadian ganda (bersifat Netral), umumnya kita menyebut sebagai "Banci, Tomboy, Bencong, dan lain-lain istilah", Veda secara nyata memberi kesempatan yang sama terhadapnya dalam interaksi sosial untuk merengkuh kesempatannya secara luas tanpa batasan yang bersifat khusus. Dalam hal ini Veda tidak secara spesifik mengatur hal-hal yang bersifat tidak umum seperti itu, sampai pada yang bersangkutan menyatakan secara formal atas pilihan yang di tentukannya. Kenyataannya begitu banyak wanita-wanita yang telah mengambil pilihan yang tidak umum, seperti yang mendedikasikan diri mereka sebagai penyebar dan pelayan Dharma.
Umat sedharma yang berbahagia,
Bhagavan Manu dalam Manava Dharmasastra III.56 menyatakan hukum bagi manusia : Di mana wanita di hormati, disanalah para Dewa merasa senang, tetapi dimana mereka tidak di hormati, tidak ada upacara suci apapun yang akan berpahala". Demikian tegas Veda menyuratkan akan keutamaan fungsi atau peran wanita dengan sifat-sifatnya yang khusus. Kenyataan ini memberi makna bahwa sesungguhnya status dan kedudukan dari Gender adalah SETARA. Sebagaimana para Wipra (Brahmana ahli) menyatakan hukum (wahyu) SETARA ini dengan kata Ardhanarisvarya yang bermakna Sesungguhnya manusia terdiri dari setengah laki-laki dan setengah bagian lainnya di sebelah kiri adalah wanita.
Umat sedharma yang berbahagia,
Tidak cukup alasan dan referensi susastra, yang memberi makna atas Gender sebagai bentuk pembagian manusia dalam kedudukan yang veryikal. Veda dengan mantram-mantram serta Sloka-slokanya menyatakan dengan jelas akan kedudukan manusia dengan gendernya. Maka pembatasan-pembatasan atas hak-hak sebagai bentuk kewajiban dari Wanita merupakan pengingkaran dari Dharma, di banding sebagai cara perlindungan baginya. Jadi sesungguhnyalah Veda telah menyatakan kepada kita, bahwa manusia dalam gendernya masing-masing, memberi kesempatan dan kedudukan yang sama kepada kita sebagai Laki-laki dan Wanita sesuai dengan fungsinya. Artinya bahwa wanita dengan tugas-tugasnya yang khusus, selayaknya memiliki kesempatan yang sama di berbagai aspek sosial. Haruslah mampu kita pahami, misalnya pemberian pendidikan yang SETARA dengan Laki-laki sesuai dharma baginya, pada dasarnya merupakan pemberian kesempatan kepada wanita untuk memberikan pendidika moralitas yang lebih baik kepada anak-anaknya serta keluarganya. Bila sebaliknya maka akan sangat berpengaruh pada merosotnya moralitas masyarakat secara umum.
Umat sedharma,
Dalam Veda status manusia berdasarkan gendernya adalah setara. Laki-laki maupun wanita memiliki kesempatan dan kedudukan yang sama. Laki-laki memiliki kewajiban di luar rumah, sementara wanita adalah pemimpin di dalam rumahnya. Tidak ada alasan yang legal bagi keduanya untik saling membatasi dalam pelaksanaan dharmanya masing-masing. Kesetaraan yang di maksudkan oleh Veda adalah KESETARAAN MUTUALISME, yang artinya secara spesifik keduanya memiliki hak atas dan di dasarkan dharmanya. Tak ada yang lebih utama dari salah satunya. Namunpun demikian, kesetaraan dalam hak dan kesempatan secara sosial, bukanlah sebagai bentuk pembebasan atas hak-hak yang menjadi kewajibanya yang bersifat khusus. Pengingkaran atas hak wanita sebagaimana di suratkan Veda, lebih merupakan bentuk pengingkaran atas tugas-tugas mulia yang di tanggungnya, di banding sebagai bentuk pernyataan untuk perlindungannya. Jadi, selama anak-anak manusia belum bisa DITURUNKAN LANGSUNG DARI LANGIT, maka selama itu pula Manusia dalam wujud Wanitanya di butuhkan. Olehnya, Laki-laki tanpa wanita adalah Bayangan di kegelapan, sebagaimana halnya Wanita tanpa Laki-laki merupakan Sungai tanpa Air.
Umat sedharma yang berbahagia,
Demikian pesan dharma yang dapat saya sampaikan, semoga dapat menambah pemahaman kita. Semoga Hyang Brahman -Tuhan Yang Maha Esa- melimpahkan segala wara nugrahaNya.
Umat sedharma yang berbahagia,
Dalam kehidupan sosial kita dewasa ini, begitu banyak bermunculan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masalah Gender. Pada pandangan dan pemahaman umum, kata atau istilah Gender lebih di artikan sebagai persoalan kaum wanita. Pembahasan masalah Gender, di anggap sebagai pembahasan sebuah upaya peningkatan PERAN dan HAK dari WANITA, dengan membuang jauh kemungkinan-kemungkinan penghentian hegemoni laki-laki dalam bentuk pembenaran berlakunya EGOISME kaum Laki-laki. Berdasarkan kenyataan-kenyataan kehidupan sosial seperti itulah, maka saya menyampaikan Pesan-pesan Dharma itu dengan Judul "GENDER MENURUT AGAMA HINDU".
Bila kita berbicara tentang gender, maka secara langsung di kepala kita akan tergambar segala sesuatu yang berhubungan dengan wanita. Secara otomatis akan demikian. Oleh karena itu kita harus mengetahui dan memahami apa sebenarnya yang di maksud.kan dengan istilah GENDER itu. Jadi, makna kata gender menurut Kamus Bahasa Indonesia, Gender berarti JENIS KELAMIN. Ini berhubungan dengan manusia, dalam arti manusia di bagi dan di bedakan menurut jenis kelaminnya. Dalam bahasa Inggris, secara khusus di sebut dengan istilah SEX, pengertiannya juga JENIS KELAMIN. Berdasarkan pengertian tersebut, maka Manusia menurut jenis kelaminnya di bagi dalam dua (2) kelompok, yaitu Laki-Laki dan Wanita. Laki-laki dalam bahasa Inggris di sebut MALE dan Wanita sebagai FEMALE, yang memiliki sifat Maskulin dan Feminim.
Dalam susastra Veda, manusia dalam bahasa Sanskrta di bagi ke dalam LAKI dan SWANITA, juga Laki-laki di sebut Purusha dan Wanita adalah Pradhana, istilah yang lebih dalam dan lebih halus lagi, laki-laki adalah Lingga dan Wanita sebagai Yoni. Demikian halus dan dalamnya VEDA memaknai esensi manusia dalam eksistensinya sebagai laki-laki dan wanita.
Umat sedharma yang berbahagia,
Di luar sana, pengertian dan pemaknaan atas status gender sebagai laki-laki dan wanita, sungguh-sungguh menumbuhkan polemik di berbagai lapisan masyarakat. Persoalan gender mengemuka sebagai perwujudan dari ketimpangan dari rasa keadilan sosial yang berakibat buruk. Di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia ini, setiap manusia dengan dalih "SUARA LANGIT" , defenisi dan status gender tidaklah horisontal, tetapi menjadi vertikal. Artinya ada perlakuan yang berbeda antara laki-laki dan wanita, di mana wanita di beri hak dan kesempatan setelah kaum laki-laki. Ini terjadi di berbagai aspek sosial. Nah apalagi bila di hubungkan dengan segala ketentuan ADAT TRADISI yang ada dan anuti oleh setiap kelompok masyarakat kita. Sebut saja misalnya dalam Adat Istiadat Bali, wanita sebagai bagian dari Gender manusia, belum mendapat haknya secara seimbang, bahkan cenderung ada dalam posisi yang memprihatinkan. Misalnya saja dalam hal pendidikan, hak dalam warisan, dan sebagainya. Dalam tradisi adat Bali, laki-laki sebagai Purusha di anggap menjadi yang utama, hak meneruskan keturunan, hak penguasaan atas warisan, hak yang lebih atas usaha pendidikan, dan sebagainya.
Lalu....di mana POSISI WANITA ???. Dalam berbagai tradisi Adat di Negara kita ini, selain tugas "mengandung anak", "melayani suami", "melayani kebutuhan rumah tangga" dan kewajiban lain yang berhubungan dengan tugas-tugas suami (Laki-laki), wanita berada pada sisi yang bersebrangan dengan suami.
Umat sedharma yang berbahagia,
Tradisi dengan Hukum Adatnya telah memunculkan tatanan khusus terhadap apa yang di masa kini di sebut sebagai Gender. Kita dalam tradisi menganut paham PATRIARKI, artinya bahwa keturunan dari sebuah perkawinan itu merupakan penerus dari TRAH atau WANGSA kaum lelaki. Adat tradisi telah menjadi SANGKAR BAJA yang menghalangi pandangan kita terhadap Tugas Kewajiban dari Wanita, yang sangat Utama dan Mulia.
Tidakkah kita sadar, bahwa HARKAT DAN MARTABAT suatu bangsa sebenarnya sangat di tentukan oleh WANITA???. Tidakkah kita menyadari, bahwa martabat sebuah rumah tangga dan keluarga bergantung pada martabat dan kewibawaan wanitanya?.
Mari kita tengok apa yang di suratkan oleh Veda mengenai status gender ini. Apakah sama dengan apa yang di akui sebagai "Suara Langit" oleh sebagian manusia di bumi, bahwa wanita berjalan di belakang laki-laki?. Ataukah Veda memiliki "Suara Suci" yang dapat menjadi Amertha bagi wanita...?.
Umat sedharma yang berbahagia,
Veda, sebagai Kitab Suci Agama Hindu adalah hukum standar yang menjadi rujukan utama dalam memaknai setiap persoalan. Veda menjadi sumber dari segala sumber hukum manusia, karena mengandung sifat Rta, yaitu hukum Brahman yang Kekal. Demikian pula yang berhubungan mengenai Status dan Kedudukan serta tugas bagi Gender manusia.
Di dalam masyarakat Hindu, Gender dalam arti Manusia sebagai Laki-laki dan Wanita memiliki status yang mulia. Lihat saja penggambaran Dewa-dewa sebagai wujud kekuatan Supra kosmis, selalu di gambarkan sebagai laki-laki. Demukian halnya Semua bentuk kekuatan dan kemuliaan selalu di gambarkan sebagai Wanita. Keperkasaan dan Keunggulan oleh Veda di gambarkan sebagai Laki-laki, sementara Kemuliaan, Keagungan, Kecerdasan, Kelemah lembutan, keluhuran dan kasih sayang selalu di gambarkan sebagai wanita. Dari surat-surat wahyu yang tetuang dalam Veda, menggambarkan bahwa Gender dalam bentuknya yang berbeda pada dasarnya memiliki STATUS yang SETARA.
Coba kita renungi apa yang di suratkan dalam RG VEDA III.53.4.: Jayed astam maghavan set u yonih, artinya : Ya Sang Hyang Indra, istri sebenarnya adalah wujud rumah itu. Dia adalah dasar kemakmuran keluarga. Atau kita cermati apa yang di nyatakan dalam YAJUR VEDA XIX.94.: Patni sukrtam bibharti, artinya : Istri melaksanakan upacara keagamaan, atau di katakan: Tanpa kehadiran wanita yajna tidak sempurna.
Umat Sedharma yang berbahagia,
Demikian mulia dan luhurnya Veda memberi penghormatan kepada Wanita, dimana dalam hal ini sehubungan dengan tugas-tugas khusus yang di tanggung oleh wanita. Bila dalam kehidupan sosial selama ini, wanita di anggap tidak memiliki hak suara terhadap segala sesuatu yang menyangkut kesejahteraan serta kebahagiaan umum, tetapi Veda kemudian mengingatkan kita, bahwa wanita memiliki kedudukan dan fungsi yang vital, yang utama.
Dalam masyarakat Hindu, Laki-laki memiliki kebebasan memilih dan melakukan kewajibannya di luar rumah, sesuai dengan bakat, kemampuan serta kesempatan yang dapat di raihnya untuk memenuhi kebutuhan dan menghadirkan kesejahteraan serta kebahagiaan bagi seluruh keluarganya. Jadi kaum laki-laki secara umum telah di terima secara layak untuk melakukan kegiatan di luar rumah. Sementara wanita melakukan kewajiban mengatur dan menata keluarganya dengan segala kemampuannya. Pendidikan terhadap anak, dalam hal ini menjadi tugas khusus bagi wanita. Kesempatan wanita berkumpul sepanjang waktu dengan bagian-bagian keluarganya, menjadikan wanita sebagai pusat pergaulan. Maka dalam hal ini, wanita merupakan ujung tombak moralitas keluarga, karenanya kesucian wanita merupakan kewibawaan bagi dirinya sendiri sekaligus keluarganya secara umum.
Umat sedharma yang berbahagia,
Veda sebagai dasar hukum dalam pengaturan tatanan masyarakat mengedepankan konsep Varna (Warna), yang membagi manusia berdasarkan bakat dan fungsi. Secara umum konsep ini tidak membedakan pembagian itu atas dasar Gender atau jenis kelamin. Artinya secara khusus Konsep Catur Varna tidak menyebutkan bahwa ada pembedaan dalam melaksanakan hak dan kewajiban dalam bentuknya sebagai BAKAT dan FUNGSI bagi laki-laki dan wanita. Keduanya memiliki kesempatan yang sama secara seimbang dalam bentuknya yang berbeda. Ini bukan pembedaan dalam arti "DAHULU dan KEMUDIAN", tetapi penekanannya pada pembagian fungsi manusia secara utuh.
Demikian pula bagi mereka yang lahir dengan kepribadian ganda (bersifat Netral), umumnya kita menyebut sebagai "Banci, Tomboy, Bencong, dan lain-lain istilah", Veda secara nyata memberi kesempatan yang sama terhadapnya dalam interaksi sosial untuk merengkuh kesempatannya secara luas tanpa batasan yang bersifat khusus. Dalam hal ini Veda tidak secara spesifik mengatur hal-hal yang bersifat tidak umum seperti itu, sampai pada yang bersangkutan menyatakan secara formal atas pilihan yang di tentukannya. Kenyataannya begitu banyak wanita-wanita yang telah mengambil pilihan yang tidak umum, seperti yang mendedikasikan diri mereka sebagai penyebar dan pelayan Dharma.
Umat sedharma yang berbahagia,
Bhagavan Manu dalam Manava Dharmasastra III.56 menyatakan hukum bagi manusia : Di mana wanita di hormati, disanalah para Dewa merasa senang, tetapi dimana mereka tidak di hormati, tidak ada upacara suci apapun yang akan berpahala". Demikian tegas Veda menyuratkan akan keutamaan fungsi atau peran wanita dengan sifat-sifatnya yang khusus. Kenyataan ini memberi makna bahwa sesungguhnya status dan kedudukan dari Gender adalah SETARA. Sebagaimana para Wipra (Brahmana ahli) menyatakan hukum (wahyu) SETARA ini dengan kata Ardhanarisvarya yang bermakna Sesungguhnya manusia terdiri dari setengah laki-laki dan setengah bagian lainnya di sebelah kiri adalah wanita.
Umat sedharma yang berbahagia,
Tidak cukup alasan dan referensi susastra, yang memberi makna atas Gender sebagai bentuk pembagian manusia dalam kedudukan yang veryikal. Veda dengan mantram-mantram serta Sloka-slokanya menyatakan dengan jelas akan kedudukan manusia dengan gendernya. Maka pembatasan-pembatasan atas hak-hak sebagai bentuk kewajiban dari Wanita merupakan pengingkaran dari Dharma, di banding sebagai cara perlindungan baginya. Jadi sesungguhnyalah Veda telah menyatakan kepada kita, bahwa manusia dalam gendernya masing-masing, memberi kesempatan dan kedudukan yang sama kepada kita sebagai Laki-laki dan Wanita sesuai dengan fungsinya. Artinya bahwa wanita dengan tugas-tugasnya yang khusus, selayaknya memiliki kesempatan yang sama di berbagai aspek sosial. Haruslah mampu kita pahami, misalnya pemberian pendidikan yang SETARA dengan Laki-laki sesuai dharma baginya, pada dasarnya merupakan pemberian kesempatan kepada wanita untuk memberikan pendidika moralitas yang lebih baik kepada anak-anaknya serta keluarganya. Bila sebaliknya maka akan sangat berpengaruh pada merosotnya moralitas masyarakat secara umum.
Umat sedharma,
Dalam Veda status manusia berdasarkan gendernya adalah setara. Laki-laki maupun wanita memiliki kesempatan dan kedudukan yang sama. Laki-laki memiliki kewajiban di luar rumah, sementara wanita adalah pemimpin di dalam rumahnya. Tidak ada alasan yang legal bagi keduanya untik saling membatasi dalam pelaksanaan dharmanya masing-masing. Kesetaraan yang di maksudkan oleh Veda adalah KESETARAAN MUTUALISME, yang artinya secara spesifik keduanya memiliki hak atas dan di dasarkan dharmanya. Tak ada yang lebih utama dari salah satunya. Namunpun demikian, kesetaraan dalam hak dan kesempatan secara sosial, bukanlah sebagai bentuk pembebasan atas hak-hak yang menjadi kewajibanya yang bersifat khusus. Pengingkaran atas hak wanita sebagaimana di suratkan Veda, lebih merupakan bentuk pengingkaran atas tugas-tugas mulia yang di tanggungnya, di banding sebagai bentuk pernyataan untuk perlindungannya. Jadi, selama anak-anak manusia belum bisa DITURUNKAN LANGSUNG DARI LANGIT, maka selama itu pula Manusia dalam wujud Wanitanya di butuhkan. Olehnya, Laki-laki tanpa wanita adalah Bayangan di kegelapan, sebagaimana halnya Wanita tanpa Laki-laki merupakan Sungai tanpa Air.
Umat sedharma yang berbahagia,
Demikian pesan dharma yang dapat saya sampaikan, semoga dapat menambah pemahaman kita. Semoga Hyang Brahman -Tuhan Yang Maha Esa- melimpahkan segala wara nugrahaNya.
OM KSAMA SAMPURNA YA NAMAH SVAHA
OM SANTIH SANTIH SANTIH OM.
No comments:
Post a Comment